Perilaku Etika Bisnis Menyimpang Menurut Al Qur’an

Uraian di bawah ini adalah penjelasan untuk sub judul: Perilaku Etika Bisnis Yang Menyimpang Menurut Al Qur’an pada contoh makalah etika bisnis dalam perspektif islam. Berikut pembahasannya:

Etika bisnis merupakan ilmu yang dibutuhkan banyak pihak tetapi masih bermasalah di aspek metodologi. Ilmu ini dibutuhkan untuk merubah performa dunia bisnis yang dipenuhi oleh praktek praktek mal bisnis. Yang dimaksud praktek mal-bisnis adalah mencakup perbuatan bisnis yang melanggar hukum pidana (business crimes) maupun perbuatan bisnis yang melanggar etika (business tort). (Suwantoro, 1990: 20-21). Al-Qur’an sebagai sumber nilai, telah memberikan nilai-nilai mendasar mengenali perilaku-perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Dalam al-Qur’an terdapat istilah-istilah: al-bathil, al-fasad dan azh-zhalim yang dapat difungsikan sebagai landasan perilaku yang bertentangan dengan Al Qur’an khususnya dalam dunia bisnis.

  1. Al-bathil; terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 36 kali pada berbagai derivasinya. Menurut pengertiannya, al-bathil yang berasal dari kata dasar bathala, berarti fasada atau rusak, sia-sia, tidak berguna, bohong. Al-Bathil sendiri berarti; yang batil, yang salah, yang palsu, yang tidak berharga, yang sia-sia dan syaitan (al Munawwir, 1984: 99-100). Penggunaan al-bathil dalam konteks bisnis tersebut dalam al-Qur’an sebanyak empat kali. Pertama dalam surat (al-Baqarah:188) ditegaskan bahwa sifat kebatilan seringkali digunakan untuk memperoleh harta benda secara sengaja. Pada ayat kedua, yaitu dalam (surat an-Nisa:29) ditegaskan larangan bisnis yang dilakukan dengan proses kebatilan. Pada ayat ketiga, yaitu dalam surat an-Nisa: 160-161; al-bathil disebutkan dalam konteks kezhaliman kaum Yahudi yang suka melakukan riba dan memakan harta orang lain dengan jalan batil. Pada ayat keempat disebutkan bahwa kebatilan dalam bisnis telah banyak dilakukan baik dengan menghalang-halangi dari jalan Allah, menimbun harta atau tidak mengeluarkan infak (al-Taubah (9): 34). Di sinilah posisi strategisnya etika bisnis, untuk menjaga pengelolaan dan pengembangan harta benda yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat dari jalan kebatilan. 
  2. Al-fasad; Istilah ini disebut 48 kali dalam al-Qur’an. Kebanyakan penggunaannya mempunyai pengertian kebinasaan, kerusakan, membuat kerusakan, kekacauan di muka bumi, mengadakan kerusakan di muka bumi. Dalam (surat Hud: 85) ditegaskan bahwa mengurangi takaran dan timbangan merupakan kedzaliman. Demikian pula dalam surat (al-A’raf: 85) atau (al-Baqarah: 205) ditegaskan tentang perintah menyempurnakan takaran dan timbangan disandingkan dengan larangan mengadakan kerusakan atau kedzaliman di muka bumi. Di tempat lain pada surat (al-Maidah: 32) menyatakan bagaimana besar dan luasnya akibat yang ditimbulkan dari kezaliman. Dari ayat-ayat di atas dapat diambil pemahaman bahwa perbuatan yang mengakibatkan kerusakan atau kebinasaan, walaupun kelihatannya sedikit dianggap oleh al-Qur’an sebagai kerusakan yang banyak. Mengurangi hak atas suatu barang (komoditas) yang didapat atau diproses dengan menggunakan media takaran atau timbangan dinilai al-Qur’an seperti telah membuat kerusakan di muka bumi. 
  3. Azh-zulm; bermakna meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidakadilan, penganiayaan, penindasan, tindakan sewenang-wenang, kegelapan (al-Munawwir, 1984: 946-947). Dalam konteks hubungan kemanusiaan, al-Qur’an pada beberapa tempat menyatakan kandungan makna kezhaliman sebagai landasan praktek yang berlawanan dengan nilai-nilai etika, termasuk dalam mal bisnis. Dalam (al-Baqarah: 279) mengatakan, bahwa kita seharusnya tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya oleh pihak lain. Dengan demikian dari pemahaman al-bathil, al-fasad dan az-zalim di atas dihubungkan dengan pengertian hakikat bisnis, dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu landasan praktek mal bisnis adalah setiap praktek bisnis yang mengandung unsur kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun banyak, tersembunyi maupun terang-terangan. Dapat menimbulkan kerugian secara material maupun immateri baik bagi si pelaku, pihak lain maupun masyarakat.