Sejarah ekonomi islam fase pertama yakni fase abad awal sampai dengan abad ke-5 Hijriyah atau abad ke-11 Masehi yang dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fuqaha, diikuti oleh sufi dan kemudian oleh filosof.
Pada awalnya, pemikiran mereka berasal dari orang yang berbeda, tetapi di kemudian hari, para ahli harus mempunyai dasar pengetahuan dari ketiga disiplin tersebut. Fokus fiqih adalah apa yang diturunkan syariah dan, dalam konteks ini para fuqaha mendiskusikan fenomena ekonomi.
Tujuan mereka tidak terbatas pada penggambaran dan penjelasan fenomena ini. Namun demikian, dengan mengacu pada Alquran dan hadis nabi, mereka mengeksplorasi konsep maslahah (utility) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi.
Pemaparan ekonomi para fuqaha tersebut mayoritas bersifat normatif dengan wawasan positif ketika berbicara tentang perilaku yang adil, kebijaksanaan yang baik, dan batasan-batasan yang diperbolehkan dalam kaitannya dengan permasalahan dunia. Sedangkan kontribusi utama tasawuf terhadap pemikiran ekonomi adalah pada keajegannya dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah swt, dan secara tetap menolak penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi. Sementara itu, filusuf Muslim, dengan tetap berasaskan syariah dalam keseluruahan pemikirannya, mengikuti para pendahulunya dari Yunani terutama Aristoteles (367-322 sm), yang pembahasannya terfokus pada sa’adah (kebahagiaan) dalam arti luas. Pendekatannya global dan rasional serta metodologinya syarat dengan analisis ekonomi positif dan cenderung makroekonomi. Hal ini berbeda dengan para fuqaha yang terfokus perhatiannya pada masalah-masalah mikro ekonomi. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam di fase pertama ini antara lain diwakili oleh Zaid bin Ali (w.80 H/738 M), Abu Hanifah (w. 150 H/767 M), Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), Al-Syaibani (w. 189 H/804 M), Abu Ubaid bin Sallam (w. 224 H/838 M), Harits bin Asad Al-Muhasibi (w. 243 H/858 M), Junaid Al-Baghdadi (297 H/910 M), Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M), dan Al-Mawardi (450 H/1058 M).
Tokoh cendekiawan muslim pada fase pertama sejarah ekonomi islam, diawali dengan pemikiran Said bin Ali (699-738 M), cucu Husain bin Ali bin Abi Thalib. Pemikiran Said bin Ali banyak diriwayatkan oleh Abu Zahrah. Abu Zahrah mengatakan bahwa Said-lah yang pertama memperkenalkan harga jual kredit. Menurutnya, harga jual kredit atau non- tunai atas suatu komoditi boleh lebih mahal dari dari harga tunainya. Misalnya, seorang memperoleh fasilitas pembiayaan barang/jasa, maka harga beli dari pemberi fasilitas lebih mahal dari harga jual pemasok. Jika barang itu dibayar tunai harganya akan lebih murah, tetapi jika ada tenggang waktu untuk membayar sampai beberapa waktu, maka harga menjadi lebih mahal. Pandangan Said ini terkesan kontroversial, karena terdapat pendapat lain yang mengatakan bentuk transaksi seperti ini termasuk riba.
Argumentasi Said bin Ali bahwa jual beli secara tidak tunai itu halal adalah karena aspeknya berbeda. Jika pada jual-beli itu ada transaksi, disebutkan ada underlying transaction. Sedangkan persoalan ini merupakan persoalan pertukaran antara uang dan barang, berbeda dengan pinjam-meminjam yang melibatkan pertukaran antara uang dengan uang. Jika yang terjadi antara uang dengan barang, maka itu termasuk perdagangan yang diperbolehkan.
Inilah yang kemudian dalam praktek perbankan sekarang dikenal sebagai pembiayaan murabahah, pembiayaan bai’ bitsaman ‘ajil, dan pembiayaan ijarah. Jika pada pembiayaan murabahah pembelian dilakukan dengan pembayaran secara tunai, semuanya dalam satu periode misalnya satu atau dua tahun, pada bai’ bitsaman ‘ajil pembayaran dilakukan dengan mencicil sampai lunas.
Argumentasi Said lainnya dalam membolehkan jual beli secara tidak tunai adalah karena masalah ini tidak terkait dengan tenggang waktu yang bisa diartikan sebagai riba, karena transaksi yang dilakukan adalah antara barang dan uang, bukan antara uang dengan uang.
Selanjutnya pembahasan tentang pemikiran Abu Hanifah, (699-767 M) tentang transaksi salam. Tampaknya Abu Hanifah tidak terlalu mempersalahkan transaksi salam sepanjang dalam kontraknya betul-betul jelas, yaitu ada kejelasan tentang komoditi, jenis kualitas, kuantitas, dan tempat pengirimannya. Disamping itu menurutnya, barang juga disyaratkan harus sesuai dengan transaksi yang ada didalam transaksi murabahah. Kemudian pembahasan tentang pemikiran al-Awza’I (707-774 M). terlihat bahwa al-Awza’I cenderung untuk membebaskan orang untuk melakukan kontrak. Tampak bahwa pada masa itu sudah dikenalkan sharecropping dan syirkah. Bahkan sudah terjadi salah satu bentuk syirkah yang selanjutnya dikenal dengan mudharabah.
Kemudian pemikiran dari Yahya bin Adam al-Qarashi (818 M) yang dianggap lebih dekat dengan masa sekarang. Pada masanya, sudah banyak dibahas tentang public finance, bahkan sudah ada yang dibukukan. Meski demikian, Yahya bin Adam al-Qarasyi masih dianggap belum berhasil memberikan suatu perhatian pada economic thinking atau analisis.
Selanjutnya adalah Imam Syafi'i (767-820 M). Pada masa Syafi'i memang banyak pembahasan tentang kesejahteraan masyarakat. Syafi'i sendiri menyepakati prinsip-prinsip kesejahteraan masyarakat ini sepanjang itu diakui secara eksplisit di dalam al-Quran, Sunnah dan Ijma'. Berlanjut kepada Abu Yusuf yang hidup pada tahun 371-798 M/113-182 H. Beliau adalah ahli hukum Islam (fikih) yang sudah memiliki pemikiran tentang peranan pemerintah. Sebuah pemikiran yang sangat futuristik, karena pemikiran ekonomi konvensional sendiri baru menganggap adanya peranan pemerintah pada masa Keynes tahun 1883-1946. Sedangkan pada masa Adam Smith (1723-1790 M), lebih dari 1000 tahun pasca Abu Yusuf, peranan pemerintah sama sekali belum terpikirkan oleh sistem ekonomi konvensional.
Muhammad bin Hasan Al-Syaibani (750-804 M), sudah menulis tentang berbagai cara transaksi non-tunai, seperti ijarah, sina'ah, dan sebagainya. Dalam hal ini, Al-Syaibani mengatakan bahwa seorang muslim haruslah menjadi seorang pemurah, yang harus memberi kepada saudaranya yang tidak punya. Di sisi lain, seorang muslim dilarang meminta-minta sebagaimana Rasulullah saw mengajarkan bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah.
Selain itu, asy-Syaibani tidak menyetujui tukar menukar barang, sebab menurutnya dalam tukar menukar barang itu ada sesuatu yang tidak terukur, sehingga bisa termasuk gharar. Dengan kata lain, Muhammad bin Hasan Al-Syaibani menyatakan secara eksplisit bahwa tukar menukar barang itu tidak diperbolehkan. la juga tidak memperbolehkan seseorang untuk menerima pendapatan lebih dari yang seharusnya diterima.
Di dalam kitabnya Al-Ashl, Muhammad bin Hasan Al-Syaibani menulis berbagai macam transaksi non-tunai, seperti salam, syirkah, mudharabah, dan sebagainya. la juga menekankan tentang kewajiban pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, peradilan, hukum dan pembangunan ekonomi. Semua pembahasan ini baru dikaji dalam ekonomi konvensional pada tahun 1930 (Khan & Ghifari, 1992)
Ini berarti, sejak Adam Smith tahun 1790 hingga 1930 ekonomi konvensional menganggap tidak ada unsur campur tangan pemerintah dalam ekonomi. Baru pada periode Keynes tahun 1930 diakui adanya peran pemerintah, seperti bagaimana harus mengatur kebutuhan masyarakat, siapa yang mengatur peradilan, siapa yang mengatur hukum dan pembangunan ekonomi.
Selanjutnya Ahmad bin Hanbal (780-855 M/164-241 H) banyak mendasarkan uraiannya pada aktivitas ekonomi berdasarkan maslahah dan syariah. Menurut Imam Ahmad, sebagaimana kaidah ushul fiqh, bahwa pada prinsipnya dalam persoalan muamalah semua diperbolehkan kecuali yang dilarang. Ini penting mengingat saat itu Ahmad bin Hanbal sudah melarang dumping. Ia melarang bentuk perdagangan yang secara bersama-sama menurunkan harga dengan maksud menghancurkan lawan. Untuk itulah, diperlukan suatu und,ang-undang. Juga harus ada peraturan yang dapat melindungi pelaku ekonomi dari praktek monopoli. Menurut Imam Ahmad, sebuah peraturan diperlukan untuk mengatur dan melindungi para pengusaha dari praktek-praktek monopoli. Salah satu contohnya adalah praktek usaha-usaha penjual di dalam sebuah pasar yang salah satu strateginya adalah menurunkan harga, untuk kemudian menjadi pembuat harga sesudah usaha orang lain bangkrut. Imam Ahmad berpandangan bahwa yang dapat mengatasi dan mengatursemua persoalan tersebut adalah undang-undang atau peraturan pemerintah, yang dibuat dalam kerangka kemaslahatan ummat.
Harits bin Asad al-Muhasibi (895 M). Buku al-Muhasibi menekankan dalam kejujuran pada setiap aktivitas ekonomi. Penekanan tentang perlunya kejujuran ini merupakan prinsip kegiatan-kegiatan ekonomi. Kemudian dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya, seorang muslim dilarang melakukannya dengan cara yang dilarang atau bathil. Al-Muhasibi juga menekankan pentingnya kerjasama antar sesama muslim. Berikutnya, pembahasan tentang pemikiran Junaid al-Baghdadi (910 M/297 H). Beliau adalah tokoh sufi yang member! penekanan lebih pada perlunya kualitas iman kepada Tuhan dan Rasul-Nya, dan keharusan seorang muslim untuk menjauhi sifat mementingkan diri sendiri (Afzalurrahman, 1995)
Pemikiran al-Baghdadi sekilas terlihat lebih banyak bersifat filosofi tapi masih dalam kategori ekonomi sebagaimana terlihat pada beberapa pemikirannya, seperti anjurannya untuk membudayakan kualitas spiritual dalam masyarakat, dan anjurannya untuk berbuat kebaikan dalam bermuamalah (berinteraksi) dengan masyarakat. Pada abad ke-10, dalam terminologi sejarah klasik ekonomi konvensional klasik kondisinya sama seperti masa sebelumnya; belum terdapat pemikir dari kalangan konvensional. Sementara itu, pemikiran ekonomi Islam sudah muncul dengan tokoh di antaranya Qudamah bin Ja'far (948 M) dengan kitabnya al-Khawarij. Namun belum ada penjelasan memadai terkait pemikirannya.
Kemudian muncul pemikir kedua yaitu Abu Ja'far ad-Daudi (1012 M) dengan kitabnya, al-Anwar, diikuti pemikir ketiga Ibnu Miskawaih 1030 M. Hal menarik dari Ibnu Miskawaih adalah pemahamannya tentang uang sebagai alat tukar, padahal di dalam ekonomi konvensional saat itu pemikiran tentang hal ini sama sekali belum ada. Menyimak sejumlah fakta diatas, dapat dikatakan bahwa para pemikir Islam telah lebih dulu ada dan secara pemikiran lebih maju dari para pemikir ekonomi konvensional.
Demikian uraian sejarah ekonomi Islam fase pertama yang dapat kami rangkumkan buat para pembaca. Selanjutnya adalah sejarah ekonomi islam fase kedua.