Memahami pengertian riba dalam islam sangatlah mudah. Kata riba berasal dari bahasa Arab, secara etimologis berarti tambahan (azziyadah), berkembang (an-numuw), membesar (al-'uluw) dan meningkat (al-irtifa'). Kata riba telah digunakan oleh masyarakat Arab jahiliyah sebelum kedatangan Islam dalam urusan muamalah mereka sehari-hari sehingga riba bukanlah suatu istilah syara’ yang baru. Munculnya perbankan syariah dalam dekade terakhir kembali mempopulerkan pengertian riba dalam bank syariah.
Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan : arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seseorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya ada unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).
Dalam kajian fiqih, riba adalah tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba kerap diterjemahkan dalam bahasa Inggris "Usury" dengan definisi tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun banyak.
Istilah riba identik dengan rente atau bunga bank. Ini disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank.
Perbedaan antara “riba” dan “bunga”
Untuk mengetahui perbedaannya, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian bunga. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Sehingga disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga "interest" pada hakekatnya sama, keduanya sama-sama memiliki arti tambahan uang.
Pengertian Riba Menurut Para Ulama
Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuanuntuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.
Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah menguraikan bahwa para ulama sepakat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu sebagai ‘iwadh (imbalan) adalah riba.
Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut.
Riba atau usury begitu erat kaitannya dengan perbankan konvensional, di mana dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syariah yang memakai prinsip bagi hasil (mudharabah). Karena itu, pengertian riba dalam bahasan ini adalah pengertian riba dalam praktek bank syariah yang semestinya.
Demikian uraian pengertian riba dalam islam, untuk menambah pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan riba dan macamnya, dapat merujuk pada referensi berikut:
Sehubungan dengan arti riba dari segi bahasa tersebut, ada ungkapan orang Arab kuno menyatakan : arba fulan 'ala fulan idza azada 'alaihi (seseorang melakukan riba terhadap orang lain jika di dalamnya ada unsur tambahan atau disebut liyarbu ma a'thaythum min syai'in lita'khuzu aktsara minhu (mengambil dari sesuatu yang kamu berikan dengan cara berlebih dari apa yang diberikan).
Dalam kajian fiqih, riba adalah tambahan khusus yang dimiliki salah satu pihak yang terlibat tanpa adanya imbalan tertentu. Riba kerap diterjemahkan dalam bahasa Inggris "Usury" dengan definisi tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang dilarang oleh syara', baik dengan jumlah tambahan yang sedikit atau pun banyak.
Istilah riba identik dengan rente atau bunga bank. Ini disebabkan rente dan riba merupakan "bunga" uang, karena mempunyai arti yang sama yaitu sama-sama bunga, maka hukumnya sama yaitu haram.
Dalam prakteknya, rente merupakan keuntungan yang diperoleh pihak bank atas jasanya yang telah meminjamkan uang kepada debitur dengan dalih untuk usaha produktif, sehingga dengan uang pinjaman tersebut usahanya menjadi maju dan lancar, dan keuntungan yang diperoleh semakin besar. Tetapi dalam akad kedua belah pihak baik kreditor (bank) maupun debitor (nasabah) sama-sama sepakat atas keuntungan yang akan diperoleh pihak bank.
Perbedaan antara “riba” dan “bunga”
Untuk mengetahui perbedaannya, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian bunga. Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest yang berarti tanggungan pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Sehingga disimpulkan bahwa riba "usury" dan bunga "interest" pada hakekatnya sama, keduanya sama-sama memiliki arti tambahan uang.
Pengertian Riba Menurut Para Ulama
Abu Zahrah dalam kitab Buhūsu fi al-Ribā menjelaskan mengenai haramnya riba bahwa riba adalah tiap tambahan sebagai imbalan dari masa tertentu, baik pinjaman itu untuk konsumsi atau eksploitasi, artinya baik pinjaman itu untuk mendapatkan sejumlah uang guna keperluan pribadinya, tanpa tujuanuntuk mempertimbangkannya dengan mengeksploitasinya atau pinjaman itu untuk di kembangkan dengan mengeksploitasikan, karena nash itu bersifat umum.
Abd al-Rahman al-Jaziri dalam Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah menguraikan bahwa para ulama sepakat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu sebagai ‘iwadh (imbalan) adalah riba.
Yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan kuantitas dalam penjualan asset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadhul), yaitu penjualan barang-barang riba fadhal: emas, perak, gandum, serta segala macam komoditi yang disetarakan dengan komoditi tersebut.
Riba atau usury begitu erat kaitannya dengan perbankan konvensional, di mana dalam perbankan konvensional banyak ditemui transaksi-transaksi yang memakai konsep bunga, berbeda dengan perbankan yang berbasis syariah yang memakai prinsip bagi hasil (mudharabah). Karena itu, pengertian riba dalam bahasan ini adalah pengertian riba dalam praktek bank syariah yang semestinya.
Demikian uraian pengertian riba dalam islam, untuk menambah pemahaman tentang hal-hal yang berkaitan dengan riba dan macamnya, dapat merujuk pada referensi berikut:
- Abu Sura'i Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, alih bahasa M. Thalib, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993)
- Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan ACAdeMIA, 1996).
- Muhammad, Manajemen Bank Syari'ah, edisi revisi, (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Peretakan (UPP) AMP YKPN, 2002.
- Muhammad Abū Zahrah, Buhūsu fi al-Ribā, cet.1, (Bairut: Dār al-Buhus al-Ilmīyah, 1399 H/ 1980 M), hlm. 38-39.
- Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-arba'ah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), juz. II, hal. 245.
- Undang-undang Perbankan, Undang-undang No. 10 Th. 1998 tentang perubahan Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,(Jakarta: Sinar Grafika, 2005)